Selasa, 31 Mei 2011

masalh gizi

Masalah Gizi di Indonesia

Berdasarkan peringkat HDI (Human Development Index), Indonesia berada pada urutan 109 dari 174 negara, jauh di bawah negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (peringkat 56), Filipina (77), Thailand (67), apalagi bila dibandingkan dengan negara Singapura (22) serta Brunei (25). Faktor-faktor yang menjadi penentu HDI yang dikembangkan oleh UNDP (United Nations Development Program) adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan dengan status gizi masyarakat (Muhilal, 2001).

Rendahnya HDI dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia, yang dapat ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi sebesar 35 per seribu kelahiran hidup, dan angka kematian balita sebesar 58 per seribu serta angka kematian ibu sebesar 307 per seratus ribu kelahiran hidup (UNDP, 2001).

Salah satu masalah kesehatan dan sosial yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya status gizi masyarakat. Hal ini mudah dilihat, misalnya dari berbagai masalah gizi, seperti kurang gizi, anemia gizi besi, gangguan akibat kekurangan yodium, dan kurang vitamin A (Husaini, 2006). Rendahnya status gizi jelas berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena status gizi mempengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja.

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan bentuk kekurangan gizi yang terutama terjadi pada anak-anak berumur di bawah lima tahun (balita) di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Masalah tersebut merupakan masalah yang sangat kompleks, karena banyak sekali faktor yang dapat menjadi penyebabnya, seperti tingkat konsumsi makanan, penyakit infeksi dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan aspek produksi dan penyediaan pangan, ekonomi, pendidikan, budaya dan lain-lain (Roedjito, 1999).

Hasil analisis data Susenas 2000 terhadap status gizi balita di Indonesia dengan menggunakan metode z-score baku WHO-NCHS, ditemukan gizi baik 72,02%, KEP ringan/sedang 17,13%, dan KEP berat 7,53%. Adapun untuk wilayah Yogyakarta dengan metode z-score baku WHO-NCHS, ditemukan gizi baik 78,24%, KEP ringan/sedang 12,84%, dan KEP berat 4,73%. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa kejadian KEP masih relatif tinggi di Indonesia dan kalau dibandingkan antara status gizi balita tingkat nasional dengan Yogyakarta, didapatkan Yogyakarta relatif masih lebih baik.

Penyebab kekurangan gizi pada balita biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu secara langsung, melalui kualitas dan kuantitas asupan makanan pada anak dan penyakit infeksi serta penyebab tidak langsung melalui keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan, pola pengasuhan anak yang kurang baik, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan yang kurang baik (Soetjiningsh, 1998). Faktor yang cukup dominan menyebabkan meluasnya keadaan gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar di kalangan masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan kepada anggota keluarganya terutama anak-anak mereka (Satoto, 1990).

Posyandu yang sudah ada pada sebagian wilayah di Indonesia merupakan gerbang awal untuk mengetahui masalah gizi. Posyandu dengan kadernya seharusnya dapat berfungsi secara optimal bila ada dukungan dari masyarakat serta pemerintah. Secara nyata posyandu telah ikut ambil bagian dalam peningkatan kesehatan masyarakat.